ARTICLE AD BOX
Dalam laman Hindustan Times, Selasa (10/12/2024), Ahli Gizi dan Pelatih Yoga Tanya Khanna, mengatakan individu dengan orthorexia terutama memperhatikan aspek kesehatan dari makanan, bukan penurunan berat badan.
Orthorexia, yang juga disebut sebagai orthorexia nervosa, adalah gangguan makan yang dikaitkan dengan pola makan yang membatasi. Gejalanya meliputi kekhawatiran tentang kualitas makanan, menghindari makan makanan yang disiapkan oleh orang lain, takut akan penyakit bawaan makanan, dan tanda-tanda fisik kekurangan gizi.
Orthorexia dapat memengaruhi kesehatan mental dan emosional yang menyebabkan kecemasan atau rasa bersalah yang konstan tentang pilihan makanan dan pikiran obsesif tentang kualitas, persiapan, dan sumber makanan.
Pola makan dengan menghilangkan seluruh kelompok makanan atau makan terlalu ketat dapat menyebabkan kekurangan nutrisi. Pembatasan yang ekstrem dapat mengakibatkan kelelahan, melemahnya kekebalan tubuh, atau ketidakseimbangan hormon.
Khanna juga mengatakan orthorexia juga bisa membuat seseorang menghindari pertemuan atau makan sehingga menciptakan hubungan yang tegang dan perasaan kesepian.
Untuk mencegah orthorexia, perlu ada pemahaman tidak ada makanan yang secara hakiki baik atau buruk. Bekerjasamalah dengan ahli diet/ahli gizi terdaftar atau terapis untuk mengatasi akar penyebab ortoreksia.
Dengarkan isyarat lapar dan kenyang dari tubuh serta fokus menikmati makanan tanpa menghakimi. Hindari juga saran diet atau tren makan tertentu yang memicu obsesi.
Selain itu, alihkan perhatian ke kesejahteraan menyeluruh dan kesehatan holistik termasuk kesehatan mental, hubungan, dan kebugaran, bukan hanya pola makan.
Dokter spesialis gizi klinik konsultan nutrisi pada kelainan metabolisme gizi dari Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia (PDGKI) Ida Gunawan kepada Antara, mengatakan terobsesi pada makanan sehat tergolong gangguan makan atau disebut orthorexia nervosa.
“Dalam praktiknya, kalau dia tidak menemukan makanan sehat menurut dia, maka bisa menjadi stres, gelisah, merasa bersalah, cemas, dan sebagainya. Akhirnya membuat dia memilih tidak makan daripada harus makan makanan yang menurut dia tidak sehat,” katanya.
Menurut Ida, ada perbedaan konsep makanan sehat pada mereka dengan orthorexia dan orang yang menerapkan pola makan sehat. Orang yang menerapkan pola makan sehat umumnya berpegang pada gizi seimbang.
Dalam piring makanan, seperti yang dianjurkan Kementerian Kesehatan, yakni setengah bagian diisi sayur dan buah, seperempat piring dengan karbohidrat (pilih yang kompleks seperti nasi, sereal, kentang, roti gandum), kemudian isi seperempat lagi diisi dengan protein baik hewani maupun nabati.
Sementara untuk asupan harian garam, gula, dan minyak disesuaikan dengan rekomendasi Kementerian Kesehatan yakni gula 4 sendok makan peres, garam 1 sendok teh, dan minyak 5 sendok makan.
“Orang yang mengikuti pola makan sehat pastinya berpegang pada gizi seimbang. Dalam gizi seimbang tidak melulu isinya hanya sayur dan buah, tidak makan karbohidrat, lemak, dan gula,” tutur Ida.
Sementara orang dengan orthorexia biasanya justru menghindari sumber karbohidrat, protein hewani, dan bumbu seperti garam dan gula, hingga lemak yang bisa berujung masalah kesehatan salah satunya malnutrisi.
Mereka bisa menghindari konsumsi susu, padahal sebenarnya bahan minuman ini mengandung zat gizi seperti kalsium mineral atau enggan mengonsumsi daging yang justru bisa memunculkan risiko anemia.
Akibat menghindari sumber gizi penting, orang dengan orthorexia juga bisa berisiko mengalami gangguan suasana hati, penurunan berat badan drastis, mengalami banyak kelainan salah satunya pada kulit karena membatasi makanan secara ekstrem.
Mereka juga bisa mengalami kelainan perilaku akibat ada perilaku kompulsif, mengalami masalah hubungan sosial dan punya persepsi berlebihan terhadap diet sehat yang sebetulnya tidak wajar.
“Pada mereka yang orthorexia, segala bumbu, karbohdirat menjadi momok ditakuti, melihat protein hewani enggak makan karena dianggap mengandung kolesterol tinggi, identik dengan tidak sehat. Jadi konsep diet sehat yang harus dibetulkan,” ujar Ida.
Menurut Ida, orthorexia bisa ditangani melalui perawatan dari dokter gizi klinik dan psikiater. Nantinya mereka akan diberikan informasi mengenai persepsi makanan yang sehat, seperti apa nutrisi yang tepat dan seimbang untuk mendapatkan tubuh sehat.
Dalam perawatannya, orang dengan orthorexia juga dianjurkan melakukan banyak relaksasi supaya tidak menjadi tegang hingga berujung stres saat berada pada kondisi tidak menemukan makanan sehat menurut versi dia, hingga modifikasi perilaku misalnya melalui terapi perilaku kognitif dan dialektif.
“Harus konsultasikan pada psikiater, mungkin perlu tambahan obat-obatan,” demikian saran Ida.
Orthorexia nervosa biasanya bermula saat seseorang tertarik mempelajari cara mengonsumsi makanan sehat. Hasilnya dia akan memfokuskan semua energinya hanya untuk mengontrol makanan yang akan dikonsumsi.
Asosiasi yang berfokus pada gangguan makan di Amerika Serikat (the National Eating Disorders Association) mengungkapkan, kondisi ini mirip dengan anoreksia nervosa dan bulimia. Hanya bedanya, penderita bukannya menargetkan jumlah makanan, tetapi justru menghabiskan seluruh waktu mereka pada apa yang mereka makan.
“Apa yang terjadi sekarang adalah obsesi mendapatkan makanan yang bersih dan sehat, berlawanan dengan gangguan di masa lalu di mana seseorang didorong menjadi lebih kurus. Dalam orthorexia, motivasi (penderita) adalah kebersihan, kemurnian, dan sealami mungkin,” ujar Sondra Kronberg, MS, RD seperti dilansir antaranews.
Menurut Kronberg, saat motivasi itu menjadi hal yang menyiksa bagi kehidupan seseorang maka ahli bisa mengatakan itu sebagai gangguan.
“... Ini bukan sebatas, “Saya lebih suka makan makanan yang sehat, tapi saya fleksibel mengetahui tubuh saya akan tetap sehat bila harus mengonsumsi roti biasa, atau pasta biasa”,” kata dia.
Pengobatan standar untuk orthorexia adalah terapi berbasis bicara, membuat penderita tak lagi terlalu mengontrol makanannya.
“Semacam berbicara tentang bagaimana Anda takut makan sesuatu atau tidak ingin makan sesuatu, atau apa yang terjadi pada Anda. Seseorang (ahli) duduk bersama penderita dan melihat dia mulai gemetar ketika makanan tertentu tersaji di depannya,” tutur Kronberg seperti dilansir Fox News. 7