ARTICLE AD BOX
Seni selalu berkaitan erat dengan realitas sosial, budaya, dan lingkungan sekitar, dan karya seni instalasi ini adalah respons terhadap krisis lingkungan yang sedang dihadapi dunia. Pameran ini merupakan respons kelanjutan pameran “Crisis” yang sebelumnya digelar pada 26 Oktober hingga 26 November 2024 di Jimba Art Hall.
Bayak dan Tjandra, dalam instalasi mereka, membungkus batang pohon dengan empat warna kain—merah, putih, kuning, dan hitam—yang kaya akan makna filosofis. Dalam konteks budaya Bali, warna-warna ini tidak hanya memperindah pohon, tetapi juga memberi makna mendalam: merah melambangkan Dewa Brahma, putih melambangkan Dewa Siwa, hitam melambangkan Dewa Wisnu, dan kuning melambangkan Dewa Mahadewa.
Tidak berhenti sampai situ, tiga unsur warna putih, hitam dan merah juga sering dijumpai dalam gelang atau benang Tridatu yang melambangkan Tri Kona yang berarti bekal hidup setiap manusia, seperti Utpeti (lahir), Stiti (hidup), dan Pralina (mati), sedangkan kuning melambangkan keluhuran dan menjaga keseimbangan alam. Sedangkan dalam keselarasan penjuru mata angin, hitam melambangkan arah utara, warna putih melambangkan arah timur, warna merah melambangkan arah selatan, dan warna kuning melambangkan arah barat.
Menurut Yudha Bantono, kurator Crisis Art Project, penyarungan pohon dengan kain oleh Bayak dan Tjandra bukanlah hal asing di Bali. Masyarakat Bali telah lama mengikat pohon dengan kain poleng ataupun kain putih dan kuning sebagai bentuk penghormatan terhadap pohon sebagai bagian dari keharmonisan kehidupan. Bahkan seniman Bali seperti Made Wianta telah menggunakan pendekatan serupa dalam seni instalasi untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian alam.
Penggunaan Teknologi dalam Seni untuk Meningkatkan Kesadaran
Apa yang membedakan karya Bayak dan Tjandra dengan seniman lainnya adalah penambahan elemen QR Code yang ditempelkan pada kain yang membungkus pohon. QR Code ini mengarah pada film pendek yang mengajak pemirsa untuk lebih menyadari betapa pentingnya pohon dalam kehidupan dan ekosistem bumi. Hal ini menjadi langkah inovatif, menggabungkan seni rupa dengan teknologi yang sudah familiar di kalangan masyarakat untuk menjangkau audiens yang lebih luas.
Menurut Putu Agung Prianta, inisiator pameran seni rupa “Crisis”, seni instalasi ini bukan hanya sebuah bentuk ekspresi artistik, tetapi juga kritik terhadap pembangunan pariwisata di Bali yang seringkali mengorbankan ruang terbuka hijau dan pohon-pohon yang penting untuk kelestarian alam.
Bayak dan Tjandra ingin memicu refleksi tentang dampak pembangunan terhadap lingkungan, serta menempatkan isu lingkungan sebagai topik yang tak kalah penting dalam diskursus pembangunan Bali.
Dari data Forest Watch Indonesia, deforestasi di Indonesia antara tahun 2017 hingga 2021 mencapai 2,54 juta hektare per tahun, yang setara dengan enam kali luas lapangan sepak bola per menit. Kerusakan hutan di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Bali, semakin mengkhawatirkan, dan krisis iklim menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan kehidupan. Karya seni instalasi ini, dengan pendekatan yang menggabungkan seni dan teknologi, bertujuan untuk menggugah kesadaran masyarakat agar lebih peduli terhadap pelestarian pohon dan hutan.
Melalui karya ini, Bayak dan Tjandra mengajak kita semua untuk berpikir tentang hubungan kita dengan alam dan bagaimana kita dapat berkontribusi dalam menjaga kelestarian bumi. Tidak hanya sebagai karya seni yang memukau secara visual, “I Am a Tree” juga menjadi media pendidikan yang mengajak khalayak untuk berpartisipasi dalam gerakan konservasi lingkungan.
Dengan instalasi ini, kedua seniman tersebut berharap dapat memberikan dampak yang lebih besar dalam upaya penyadaran lingkungan, serta menginspirasi masyarakat untuk lebih memperhatikan peran pohon dalam ekosistem kita dan menjaga kelestarian alam demi generasi yang akan datang.