Warning: session_start(): open(/home/kabarterkiniindo/public_html/src/var/sessions/sess_47e6e1bab0aa697b882fb744fe692790, O_RDWR) failed: No space left on device (28) in /home/kabarterkiniindo/public_html/src/bootstrap.php on line 59

Warning: session_start(): Failed to read session data: files (path: /home/kabarterkiniindo/public_html/src/var/sessions) in /home/kabarterkiniindo/public_html/src/bootstrap.php on line 59
Menelusuri Sisi Mistis Setra Bojog Objek Wisata Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Badung - Kabar Indo

Menelusuri Sisi Mistis Setra Bojog Objek Wisata Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Badung

1 day ago 1
ARTICLE AD BOX
MANGUPURA, NusaBali
Objek Wisata Sangeh yang terletak di Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung merupakan objek wisata yang menawarkan interaksi dengan ratusan satwa monyet di tengah keindahan hutan jenis Pala (Alas Pala). Kunjungan di objek wisata ini tak pernah sepi. Selain menghadirkan wisata dengan suasana alam yang menenangkan, Objek Wisata Sangeh juga menyimpan sisi mistis. Ada setra atau tunon bojog di salah satu area hutan seluas 13,9 hektare itu. Konon, ketika ada monyet yang mati, maka kawanan monyet tersebut akan mengantarkan mayat itu ke setra bojog tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.

Suasana kunjungan Objek Wisata Sangeh –GUNG INDI

Ketua Pengelola Objek Wisata Sangeh, Ida Bagus Gede Pujawan mengungkapkan, sesuai data terakhir, ada lebih dari 700 ekor monyet hidup di Alas Pala yang merupakan hutan konservasi ini. Dari jumlah tersebut, didominasi oleh monyet betina. Untuk beranak pinak, satu monyet jantan bisa berkembang biak dengan 10 monyet betina. Adapun 700 ekor monyet ini hidup secara berkoloni dan teritorial. Jadi, mereka memiliki wilayah sendiri-sendiri. 

“Mereka hidup berkoloni dan teritorial. Kalau diumpamakan seperti manusia, mereka terbagi jadi tiga banjar antara lain banjar barat, banjar tengah, banjar timur. Mereka keras, kalau misal lewat dari batas wilayah, mereka bisa berantem. Setiap banjar pun ada leader-nya (pemimpin). Bahkan dalam pergantian leader, mereka akan berantem, seperti hukum rimba,” ujarnya saat ditemui di sela memantau kunjungan wisatawan, belum lama ini.

Secara rentang hidup, kata Gus Pujawan, usia monyet biasanya maksimal di angka 20-25 tahun. Umumnya, di usia tersebut monyet akan mati secara alami. Namun di Objek Wisata Sangeh, selain mati alami, satwa monyet juga ada yang mati karena sakit, kalah dalam berkelahi, atau terlindas kendaraan mengingat bagian timur hutan berdekatan dengan jalan raya. Pernah juga suatu ketika ada monyet yang terlindas bus di parkiran objek wisata.

Screenshot Ketua Pengelola Objek Wisata Sangeh saat menunjukkan lokasi setra/tunon bojog. –IST 

Saat ada monyet yang mati, para petugas di objek wisata tidak serta merta bisa mengambil mayat monyet tersebut. Sebab kawanan monyet akan menyerang. Menurut Pujawan, hanya beberapa kasus yang langsung diambil mayatnya karena bersifat urgent, antara lain monyet terlindas kendaraan di jalan raya, di parkiran, atau mati mendadak dalam jumlah lumayan karena terserang penyakit, seperti beberapa waktu lalu terserang bakteri streptococcus E.coli. Mayat monyet pun wajib dikuburkan di tunon/setra bojog. Sebab petunjuk dari Kakyang Mangku Penglingsir Pura Pucak Bukit Sari di Alas Pala Sangeh, tidak diperkenankan mengubur monyet sembarangan, semisal dikubur di tempat mayat monyet itu ditemukan.

“Biasanya kalau ada monyet yang mati, kawan-kawannya akan galak dan menyerang. Kami pun dari pegawai sangat berhati-hati. Tapi untuk beberapa kasus, kami terpaksa ambil mayatnya. Kalau kejadiannya di luar dari hutan seperti terlindas atau mati karena sakit mendadak, wajib kami bawa ke tunon/setra bojog yang letaknya di sisi barat hutan, utaranya pohon beringin tua. Kami kubur lalu haturkan canang,” ungkapnya.

Kasus lainnya, jika ada monyet mati namun tidak dihiraukan oleh kawanan monyet yang masih hidup, maka pegawai objek wisata baru akan mengambil untuk dikuburkan. "Yang terjadi sekarang misalnya kalah mesiat (berkelahi), kalau pada malam harinya tidak diambil oleh saudaranya, pasti kami bawa ke tunon dan dikubur sendiri, daripada menimbulkan bau. Kalau memang monyet itu tidak bermasalah, pasti oleh saudara mereka (monyet), kita tidak diizinkan mengambil," terangnya.

Menurut Gus Pujawan, kebanyakan monyet yang mati di Alas Pala Sangeh, mayatnya akan dilindungi oleh kawanan monyet tersebut. Sehingga saat pegawai objek wisata akan mengambil, justru akan diserang beramai-ramai. Akhirnya, mayat monyet itu dibiarkan. Namun yang aneh, pada keesokan harinya mayat monyet itu sudah hilang tak berbekas. Konon, menurut penuturan juru kunci (Kuncen) Hutan Pala Sangeh yang kini sudah tiada bernama Pekak Sura, setiap monyet yang mati pada malam harinya akan dilakukan prosesi pekutangan ke setra bojog oleh kawanan monyet, seperti pekutangan layaknya manusia.

"Kalau saya bisa katakan, ini termasuk hana tan hana, ada dan tidak ada. Yang diceritakan oleh juru kuncen di sini, kalau ada monyet yang mati, maka kawanan monyet akan melakukan prosesi mekutangan yang sama seperti manusia, tapi dilakukan malam hari. Sehingga kalau dilihat di Sangeh ini sulit menemukan bangkai monyet," jelas Gus Pujawan.

"Sinyalnya adalah jika monyet menangis saling bersahutan di jam 11 malam, berarti ada prosesi mekutangan di dalam tunon sana. Masyarakat yang rumahnya dekat sini (objek wisata Sangeh), termasuk saya yang paling sering mendengar bunyi monyet menangis seperti itu, karena griya saya paling dekat di sini. Artinya kawanan monyet saat itu sedang mengiring mayat ke tunon," tuturnya. Mendiang Pekak Sura disebut bisa berinteraksi dengan monyet di Alas Pala Sangeh, dan bahkan monyet paling galak pun akan menurut dengan bahasa serta perintah dari mendiang Pekak Sura. Karena penasaran, Gus Pujawan bahkan mengaku sempat meminta mendiang Pekak Sura untuk mengajaknya melihat setra/tunon bojog itu.  "Saya masih SMP waktu itu, saya bertanya apa benar di sini ada tunon bojog? Diantarlah saya oleh Alm Kak Sura ke tunon, dan aura yang saya rasakan memang berbeda. Di sana saya melihat interaksi Kak Sura dengan monyet. Kak Sura tidak ngomong apa, tapi dia tahu bahasa monyet. Bahkan monyet paling galak pun akan menurut," cerita Gus Pujawan.

Gus Pujawan juga menuturkan bahwa mendiang Pekak Sura pernah bercerita sempat melihat prosesi pekutangan yang dilakukan oleh kawanan monyet. Dikatakan, prosesi yang dilakukan hampir mirip seperti manusia, bahkan memakai kain kasa. "Dalam penuturan Kak Sura, mayat monyet itu ditegen (dipikul). Yang menjadi pertanyaan, mereka (monyet) di mana mendapat kain kasa? Tapi hanya orang tertentu yang bisa melihat bahwa monyet tersebut dibungkus kain kasa. Karena kain kasa itu yang diketemukan," ceritanya.

Hingga kini, cerita tersebut masih melekat di ingatan Gus Pujawan. Apalagi setelah Pekak Sura tiada, dan belum ada penerusnya sampai saat ini. "Makanya kalau malam-malam ada monyet menangis saling bersahutan, kami sudah mengerti apa yang terjadi di hutan sana. Tapi kalau mau mengintip prosesi pekutangan itu pun, masyarakat tidak ada yang berani," pungkasnya. 7 ind
Read Entire Article