ARTICLE AD BOX
Ketua DPRD Badung I Gusti Anom Gumanti, mengatakan diundangnya PT APS merupakan tindaklanjut dari audiensi puluhan pekerja dari Serikat Pekerja Mandiri (SPM) PT APS pada Senin (11/11) lalu. “Kami hari ini (kemarin) meminta penjelasan dari PT APS atas apa yang disampaikan oleh federasi serikat pekerja kemarin. Kami ingin berimbang mendapatkan penjelasan tentang apa yang menjadi aspirasi dari teman-teman federasi,” ujarnya.
Anom Gumanti menyebut, dari penjelasan PT APS sudah cukup jelas. Namun demikian, Anom Gumanti berharap permasalahan ini masih bisa dikomunikasikan antara kedua belah pihak secara kekeluargaan. “Ini masalah antar pihak. Intinya kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini, karena ini harus diselesaikan oleh kedua belah pihak. Saya berharap hal ini masih bisa dikomunikasikan,” harapnya.
Politisi PDI Perjangan asal Kuta ini menambahkan, dari sisi lembaga Dewan berharap permasalahan ini mendapatkan jalan keluar yang terbaik. “Penyelesaian permasalahan ini tergantung dari kedua belah pihak. Siapa yang mengambil inisiatif duluan. Kalau pekerjanya, nanti datang saja ke manajemen. Tadi dari PT APS juga bilang siap menerima jika pekerjanya mau datang dan berkomunikasi. Tinggal dikomunikasikan saja,” kata Anom Gumanti.
Sementara itu Direktur SDM PT APS Ricko Respati, menjelaskan permasalahan ini bermula dari aksi mogok kerja dengan tuntutan penghilangan kata ‘project’ dalam SK pengangkatan karyawan karena dinilai dapat merugikan karyawan yang memiliki Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau tetap. “Project itu hanya membedakan antara project dan non project. Secara normatif, haknya tetap diberikan. Kata project itu bukan menjadi bagian perselisihan hubungan industrial, perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, perselisihan serikat,” ungkapnya.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, Ricko merujuk beberapa peraturan yakni dalam Permenaker 232, diatur bahwa mogok kerja yang dilakukan di perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha yang terkait dengan pelayanan publik, tidak dibenarkan. Kemudian juga surat edaran dari Menteri Perhubungan No 15 Tahun 2007, menyatakan bahwa bandar udara adalah objek vital nasional, yang mana tidak boleh dilakukan penyampaian pendapat ataupun aksi apapun lainnya dalam lingkungan bandara. Mogok kerja yang dilaksanakan itu pun diklasifikasikan tidak sah.
Selanjutnya, dari 464 yang mogok kerja, dilakukan investigasi awal dan disaring sebanyak 406 orang. Dari 406 orang ini setelah diinvestigasi dikategorikan lebih kepada menjadi bagian aksi, bukan yang menginisiasi. Dengan pertimbangan-pertimbangan, 406 orang ini bisa dipekerjakan kembali, namun bekerja tidak mengenakan uniform seharusnya, melainkan pakaian hitam putih. Akan tetapi mereka tetap kena SP.
Kemudian, sebanyak 58 sisanya diinvestigasi lagi lebih dalam dan diberikan skorsing. Awalnya, sebanyak 30 orang yang bersedia menerima dan menandatangani skorsing tersebut, sisanya menolak. Hingga pada titik terakhir, sebanyak 6 orang tidak menerima skorsing tersebut hingga saat ini. “Yang menolak ini tetap kami sampaikan surat skorsingnya meskipun mereka tidak menerima. Selama skorsing kami juga tetap berikan hak-haknya,” jelas Ricko. @ ind